Rabu, 05 April 2017

Fantasy : Tales of Cattleya : Powers Fantsasy Batle part 5

Hai, maaf kalo lama. Ayo kita mulai saja....
Via memakai seragam area manusianya. Sekarang dia ada di depan ruang kelas spesial. Ia tengah menunggu Michelle. Tadi pagi mereka berpisah, karena Via akan mengepak barang-barangnya karena kepindahan kamar. Dan, ia baru sadar dia bisa mengepak semua barangnya dalam 10 menit karena dia juga vampir yang bisa bergerak dengan cepat.
Via menoleh dan menatap Michelle yang tiba-tiba sudah berada disampingnya.
“Lama sekali?” sapa Via.
“Bukan aku yang lama, kau yang terlalu cepat datang!” gerutu Michelle. Lalu, mereka menatap pintu kelas yang terbuat dari kayu mahoni itu. Mereka menghela nafas bersama.
“Siap?” tanya Via.
“Aku terlahir untuk siap!” jawab Michelle.
“Sedang apa kalian disini?”
“Wa!!...” Michelle melompat kaget.
Seorang pria berwajah garang tangah menatap Via dan Michelle. Dia memakai jubah coklat dan rambutnya beruban.
“Aku bertanya pada kalian,”
“Um, aku Via Lordwill dan dia Michelle Whitemoon. Kami...”
“Ah! Jadi kalian 2 dari 5 orang terpilih itu, ayo masuklah!” ajak pria itu.
Via dan Michelle mengangguk. Lalu, Pria itu mendahului mereka masuk kelas diikuti oleh Via dan Michelle. Keadaaan kelas itu ada sekitar 8 anak disana, beberapa bangku kosong dan suasana yang seperti kelas pada biasanya. Mereka semua segera kembali ke bangku masing-masing.
“Selamat pagi, Mr. Noester...” sapa semuanya.
“Selamat pagi, tunggu dimana...” Mr. Noester menunjuk pada sebuah bangku kosong di baris ketiga dari depan didekat jendela.
“Dia terlambat lagi, Mr. Noester.” Kata seorang pemuda berambut pirang dengan seragam area hutan, rompi kotak-kotak hijau-merah-biru, kemeja lengan pendek putih dan celana hitam. Sudah pasti dia adalah werewolf.
“Oh, ya ampun. Terimakasih infonya Sendelsein, Dia selalu berhasil membuat kacau pikiranku!” keluh Mr. Noester. “Semuanya kalian mendapatkan 2 teman lagi disini...” Mr. Noester menunjuk pada Via dan Michelle yang berdiri di depan kelas.
“Bukankah dia dari keluarga vampir tertua...” kata seorang pemuda berambut abu-abu.
“Oh! Aku ingat, dia the joker face girl’kan?” kata seorang gadis berambut merah plum dikuncir dua
“Apa yang mereka lakukan disini?” sahut seorang gadis berkacamata.
“Diam!” Mr. Noester memukulkan buku untuk dapat perhatian. “Mereka adalah salah satu dari 5 orang terpilih,  silahkan perkenalkan diri kalian...”
“Halo, namaku Michelle Whitemoon, aku berasal dari kelas 12 Vampire Cattleya High school di area musim dingin. Jadi, salam kenal...” kata Michelle. Semua bertepuk tangan.
“Dan, kau?” tunjuk Mr. Noester pada Via. Via menghela nafas lalu mengangguk.
“Selamat pagi, namaku...”
“MAAF!! Aku terlambat!” Seorang pemuda berambut coklat tiba-tiba datang sambil membanting pintu. Pemuda itu terengah-engah mengatur nafas di depan pintu.
“Darkfold! Apa yang kau lakukan?”
Seketika, Via merasa bahunya menegang. Tanpa sadar ia mulai  meremas roknya.
“Maafkan aku, Mr. Noester!” kata pemuda itu tanpa menatap Mr. Noester.
“Baik, aku maafkan. Tapi, kau harus minta maaf padanya karena kau telah menyela sesi perkenalan dirinya...”
“Perkenalan apa?” Pemuda itu mengangkat wajahnya.
Dalam beberapa detik, mata mereka bertemu. Mata mereka melebar bersamaan, tapi dengan cara berbeda jika Via seperti berkata “Oh, tidak!” dengan menyergit maka pemuda itu meneatapnya seperti berkata. “Sungguh?” dengan wajah berbinar-binar.
“Rei Darkfold! Duduk!” perintah Mr. Noester.
“Baik, pak!” pemuda bernama Rei Darkfold itu mengagguk dan duduk di tempat duduknya.
“Baiklah, kau bisa melanjutkannya...”kata Mr. Noestrer. Via terdiam. Michelle menyenggol bahu Via. Via mengerjap.
“Um... Baik. Namaku Via Lordwill. Aku dari human Cattleya High school kelas 11. Terimakasih.” Saat menyebutkan namanya. Via melihat pemuda itu lansung sumringah. Dan, itu membuktikan kalau itu benar. “Oh, tidak...” gumam Via kesal.
“Miss. Whitemoon kau bisa duduk di kursi disamping Sendelsean,” sambil menunjuk bangku depan disebelah werewolf berambut pirang tadi. Michelle mengagguk dan lansung duduk di tempat yang ditunjuk. “Dan, Miss Lordwill kau bisa duduk didepan Darkfold,”
Sekali lagi, bahu Via menegang. “Oh, tidak...” gumamnya dalam hati. Ia hanya mengangguk dan duduk di tempat yang ditunjuk.
Rei menatap Via dengan senyuman, tapi kelihatannya Via tidak memperdulikannya. Tanpa menatapnya, Via lansung duduk di tempatnya. Rei mengangkat alisnya, bingung.
Seorang gadis berambut lurus hitam sebahu yang duduk di samping Via tersenyum kecil. Sedangkan, pemuda werewolf yang dipanggil Sendelsean tadi menoleh menatap gadis berambut hitam itu.
“Ada apa?” bisiknya pada gadis itu. Gadis itu hanya terkekeh lalu menggeleng. Sendelsean tersenyum pada gadis itu lalu kembali menatap ke depan.
Via merasa ini semua adalah hal yang bagus, tapi orang yang kini duduk di bangku belakangnyalah yang membuat suasana hati Via kacau. Mr. Noester benar, Rei Darkfold adalah pengacau suasana hati. Lalu, Via menatap Michelle. Michelle menoleh. Ia mengangkat alisnya, Bertanya. Via hanya menggeleng lalu kembali menghela nafas.

à
Sampai jumpa minggu depan!

Minggu, 26 Maret 2017

Fantasy : Tales of Catteya : Powers Fantsasy Batle part 4

Haloha! Konnichiwa, ayo lanjutkan cerita ini!

“Apa yang kalian inginkan?” tanya Via.
“Melanjutkan perbincangan kemarin yang sempat tertunda. Aku memiliki beberapa seleksi untuk mengetahui kau manusia, peri, atau vampire...” kata Mr. Whitemoon.
“Apa?”
“Ayo ikut!” Michelle menarik tangan Via. Mr. Whitemoon mengikuti mereka.
“Tunggu, bagaimana dengan kelasku...”
“Untuk apa kau kembali pada teman-temanmu yang membencimu itu?”
Kata-kata Michelle berhasil membuat Via melebarkan matanya, terkejut. Ia menunduk suram. “Mereka bukan temanku, aku tidak butuh teman...”
Michelle menghentikan langakahnya dan menatap Via. Tatapannya menyelidik. Tapi, Via berhasil membuat ekspresinya kembali tidak bisa ditebak alias wajah datar. Matanya yang sebiru malam miliknya terlihat sayu, rambut pirang yang dikepangnya sedikit acak-acakan dan terlihat kusam. Via juga masih memakai jubah sihirnya, ditangannya terdapat tongkat sihir.
“Ayo anak-anak kita hampir sampai. Aku masih punya beberapa urusan lagi yang harus kuselesaikan dan itu semua tentangmu Miss Lordwill...”
“Baik,” jawab Via dan Michelle serentak.
Michelle melirik Via, ia merasa auraVia sangat berbeda. Penuh kebencian... pikir Michelle tiba-tiba. Michelle menghentikan langkahnya. Terkejut.
“Ada apa, Michelle?” tanya Via.
Michelle menatap Via lalu tersenyum kecil. “Tidak ada!”
Via menatap Michelle. Lalu, angkat bahu dan mendahuluinya.
“Via Lordwill...”
à
Via merasa dia akan kabur dari tes-tes gila dari laboratorium rumah sakit Beenbil. Sebenarnya dia ingin kabur dari tempat itu. Tempat yang sama sekali tidak mau ia kunjungi sejak 5 tahun yang lalu.
Rumah sakit Beenbil berada di depan sebuah hutan yang berada di area asrama. Itu adalah rumah sakit umum. Didepannya terdapat padang rumput yang luas. Rumah sakit itu berada di dekat pintu masuk sekolah Cattleya. Sehingga semua orang yang sakit di luar sekolah pun bisa dilarikan ke rumah sakit itu.
Saat Via selesai menjalankan tes-tes Mr. Whitemoon, ia pergi ke lobi hendak pulang, ia menoleh dan menatap tangga yang berkarpet merah. Seketika ia melihat bayangan seringai seseorang dengan cipratan darah.
“AAA!!!...” Via lansung teriak ketakutan sampai ia terjatuh dan menjatuhkan vas bunga.
“Via! Ada apa?” Michelle menghampiri Via yang merunduk. Michelle terkejut saat mendapati Via menunduk menggigil dengan wajah penuh ketakutan. Semua orang segera menghampiri Via. “Ayah!”
“Ada apa Michelle? Hah! Via! Apa yang...”
“Cepat bawa dia ke ruang perawatan!” kata Michelle pada ayahnya.
“Jangan! Kumohon bawa saja aku pulang! Aku tidak mau disini!” jawab Via.
“Tapi..,”
“Kumohon!” gertak Via. Michelle terkejut. Untuk pertama kalinya dia melihat Via ketakutan. Tangan Via mencengkram erat seragam Michelle.
“Ayo, Ayah!” Michelle memapah Via.
“Tapi, Michelle...”
“Ayah!” Gertak Michelle. Mr. Whitemoon hanya terdiam tanpa sadar ia menelan ludahnya.
“Baik, sayang!”
“Via, tidurlah dirumahku malam ini...” kata Michelle. Via hanya diam.
“Oke,”
Mr. Whitemoon tampak terkejut. Dia melihat putrinya mulai bersikap dewasa, Mr. Whitemoon hanya tersenyum. Karena, dia yakin karena sifat itulah Michelle menjadi salah satu dari yang terpilih. Tapi, didalam hatinya muncul ketakutan. Michelle harus melawan ‘dia’. Itulah yang ditakutkan ayah dari Michelle Whitemoon ini.
à
Via memakai gaun tidur berwarna putih dengan hiasan pita satin biru di lengan pendeknya. Ia juga sudah menggerai rambutnya. Lalu, naik ke tempat tidur di kamar tamu rumah Michelle. Kamar itu cukup besar, terdapat sebuah tempat tidur di samping jendela besar, seperangkat meja dan kursi di depan pintu masuk, lemari di dekat pintu kamar mandi, dan ada sebuah meja di samping tempat tidur.
Michelle memasuki kamar itu sambil membawa sebuah selimut tebal. Ia tersenyum pada Via.
“Aku bawakan selimut untukmu, Via...”
“Terimakasih banyak, Michelle.” Via tersenyum tulus. Michelle mengangguk.
“Jika kau perlu sesuatu, beritahu saja, ya! Tidak perlu ragu-ragu,”
“Tenang saja, aku akan segera tidur. Selamat malam Michelle...” Via mulai terbaring di tempat tidur. “Bisa kau...” Michelle mengangguk mengerti.
“Aku mengerti,” Michelle mematikan lampu kamar. “Selamat malam, Via!”
“Ya!” Via mengangguk.
Sebelum Michelle menutup pintu, ia kembali menatap Via. “Kau tau Via, aku tau perasaan tidak butuh teman. Tapi, suatu hari nanti kau akan sangat membutuhkan teman.”
Via terdiam. “Teman?”
à

Via terbangun. Lalu, menatap sekeliling. Oh... Kenapa tidurku tadi malam nyenyak sekali, ini yang pertama kalinya...
Via segera bangkit dan turun dari tempat tidur. Ia segera masuk ke ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, Via sudah siap dan duduk di balkon. Michelle tiba-tiba datang.
“Huh, ku kira kau kabur...” Michelle kemudian berdiri disamping Via. Via hanya mengangkat bahu. Michelle melirik Via. “Apa kau selalu seperti ini?” tanya Michelle.
“Seperti apa?” Via masih menatap lurus ke depan.
“Selalu memasang wajah datar dan serius,” jawab Michelle.
“Oh...”tiba-tiba Via terlihat lesu. “Michelle, kenapa kau belum menanyakannya?”
“Menanyakannya?”
“Rumah sakit,”
“Oh, aku menunggu kau sendiri yang menceritakannya tanpa paksaan...”
Tiba-tiba, air mata Via kembali mengalir. Ia mulai terisak. Michelle cukup terkjut.
“Aku tidak mau ke tempat itu lagi...”
“Kenapa?”
“Disana aku lahir dan disana pula aku telah kehilangan kebahagiaanku,” Via menghapus air matanya.
“Hah?”  Michelle menatap Via. “Maaf, tidak perlu dipaksakan. Kau bisa cerita kapan pun kau mau...”
“Terimakasih...”
“Oh, jadi kalian berdua ada disini...” Mr. Whitemoon menghmapiri Michelle dan Via. “Lordwill, aku sudah dapat hasil tes mu dan tes ini menyatakan bahwa kau  memiliki darah manusia tapi kau juga seorang peri dan vampir.”
“Apa?” kata Michelle setangah berteriak.
“Dia memiliki kilau mata biru dari peri dan kilau mata kuning dari vampir, itu yang menyebabkan dia memiliki kilau mata warna hijau. Dan, dengan itu juga Lordwill termasuk dari 5 anak terpilih...”
“Percampuran warna sekunder, ya...” Via memalingkan wajahnya.
“Jadi kalian berdua mulai hari ini kalian akan masuk kelas spesial, karena itu persiapkan diri kalian anak-anak...” Mr. Whitemoon berbalik pergi.
“Kelas spesial itu, bukankah kelas dimana para murid berbakat berkumpul dan itu berada di asrama...”
“Ya, begitulah. Itu berarti mulai besok aku juga akan pindah kamar. Aku harap dapat kamar tunggal...” balas Via.
“Sebelumnya, kau berada di kamar tunggal?” tanya Michelle.
“Ya, begitulah...” Via angkat bahu.
“Dan kau ingin berada di kamar tunggal lagi?”
“Ya, begitulah...” Via angkat bahu lagi.
“Kau manusia, peri, dan vampir teraneh yang pernah kutemui...” kata Michelle agak gemas akan sikap cuek Via. “Tunggu dulu! Kenapa kau tidak terkejut kalau kau adalah peri dan Vampir?”
“Yang kutahu, para warga di asrama ini mengenalku sebagai, pewaris dari seorang bangsawan peri tercantik dan seorang vampir pemburu sapi yang tampan. Tapi, aku tidak mengenal mereka. Tidak ada yang memberitahuku siapa orang tuaku. Karena, aku ditinggalkan didepan asrama sekolah pada saat aku berumur tiga tahun. Dan, hanya itu yang kuingat.” Jawab Via.
“Wow, aku mengenalmu. Di kelasku ada yang membicarakan dirimu sebagai The joker face girl.”
“Baiklah, Apa kita akan masuk kelas spesial tanpa persiapan? Dan, jujur saja aku merasa akan ada hal dari masa laluku yang akan menghampiriku hari ini...”
“Apa kau tau, Vampir memiliki telepati yang sangat sensitif. Jika kau merasakannya, maka itu 98 persen akurat.” Jelas Michelle.
“Hanya 98 persen?”
“Ya...”
“Baiklah, semoga itu hal yang tak ingin kuingat...”

 à
Terimakasih atas perhatiannya...

Minggu, 19 Maret 2017

Fantasy : Tales of Catteya : Powers Fantsasy Batle part 3

Halo kembali lagi. Silahkan dinikmati... ^_^

The Crazy Testing

Via hanya bisa tepaku oleh akhir kalimat yang didengarnya dari mulut Mr. Whitemoon.
“Dia, peri? Ayah itu tidak mungkin!”
“Dia memiliki kilau mata warna hijau!”
“Yang benar saja, warna kilau mata peri adalah biru!”
“Tapi...”
“Tunggu, aku sama sekali tidak mengerti apa yang kalian katakan. Dan, kalian bertiga yang diatas pohon! Berhentilah mengoceh juga, aku jadi pusing!” bentak Via kepada semuanya termasuk burung-burung yang tengah berkicau ria dia salah satu dahan pohon.
“Karena kau yang terpilih...”
“Aku yang terpilih?” ulang Via.
“Apa? Siapa yang mengatakan itu?” tanya Michelle.
“Hei, Siapa yang mengantakannya?” Via berbalik mencari asal suara yang ia dengar.
“Aku!” seekor burung kecil hinggap di pundak Via.
“Kau?”
“Ya, para hewan dan tumbuhan bisa merasakan mereka, 5 orang yang terpilih...”
“Apa maksudnya orang terpilih?” tanya Via heran.
“Didalam legenda disebutkan bahwa akan ada 5 anak terpilih yang akan menghentikan teror The Shadows. 5 anak tersebut mewakili setiap 4 kaum besar, Kaum Fairy, Werewolf, Vampire, dan Manusia dan satu orang lagi adalah pemimpin mereka yang memiliki darah dari 4 kaum tersebut.” Cerita Mr. Whitemoon.
“Dan, Michelle juga termasuk dari 5 anak yang terpilih untuk mewakili kaum Vampire, ras asli!” tambah Mrs. Whitemoon.
“Lalu, kenapa dia tidak masuk kelas spesial saja?” tanya Via.
“5 orang yang terpilih harus ditemukan terlebih dahulu sebelum mereka masuk ke kelas spesial.” Jelas Michelle.
Via mengangguk mengerti.
“Tunggu dulu, bukankah seharusnya kita bingung bagaimana dia bisa menjadi peri yang cepat padahal dia jelas-jelas berdarah manusia?” lanjut Michelle.
“Um, lebih baik, lain waktu saja...” kata Via.
“Baiklah besok disini, sepulang sekolah...”
à
Malam ini sangatlah dingin bagi Via. Ia merasa aneh, mungkin karena ia dituduh kalau dia adalah seorang peri. Tapi, jika itu benar. Via tidak bisa merubahnya. Via masih duduk tempat tidurnya dan meng-Flashback ingatannya dari pagi hingga kini, mencari pelajaran untuk selalu diingatnya dan sisanya akan ia buang begitu saja.
Via menanatap sebuah buku di mejanya. Ia mengambil dan membuka halaman buku itu. Sesuatu terjatuh dari sana, sebuah foto. Via mengambil foto itu dan hanya bisa menatapnya saja. Tak lama kemudian, ia mengembalikan foto itu. Mata Via berkaca-kaca. Via menundukkan kepalanya.
“Kenapa kau pergi?”.
à
Kali ini, Via telah memakai jubah praktek sihirnya.  Ia tengah mendengarkan penjelasan Mr. Clanburgs tentang mantra pengubah batu ke roti. Via sudah mengenggam tongkat sihirnya.
Imento Soxebread,” mantra Via. Batu di depan Via berubah menjadi sebuah roti yang masih mengepul. Diatas roti itu terdapat parutan keju.
“Wow, hebat! Biar kulihat, roti ini...” puji Mr. Clanburgs. Ia mengambil roti bulat itu dan menyobeknya. Didalamnya, terdapat selai stroberi yang harum.
“Hm, wanginya enak sekali!” kata Mara. Bella memukul bahunya.
“Aku juga bisa melakukannya!”
“Permisi!” tiba-tiba, seorang guru masuk ruangan itu. Semua orang menatap guru itu. “Mr. Clanburgs! Ms. Lordwill tengah ditunggu seseorang.” Seketika pandangan mereka semua beralih pada Via.
“Siapa?” tanya Mr. Clanburgs.
“Mr. Micheal Whitemoon dan putrinya Michelle.”
Seketika semua orang itu terlihat terkejut.
“Apa yang ia lakukan pada keluarga vampire tertua itu?”
“Mungkin akan dimakan...”
“Baguslah, aku tidak suka dengan gadis itu...”
Via menatap tajam sekelompok orang yang tengah membicarakannya. Mereka tiba-tiba terkejut hingga ada yang jatuh dari kursinya dan ada juga yang menjatuhkan tongkat sihirnya.
“Maaf...”
“Oh! Lama sekali,” Michelle tiba-tiba masuk ke kelas. Matanya lansung menatap Via. “Oi! Via Lordwill salah satu dari 5 orang yang terpilih! Kenapa kau menatap ku seperti itu? Dan, kau manusia, kenapa kau memanggilnya saja seperti ia berada di ujung dunia saja? Dasar lelet!”
“Michelle,” kata Via. Micehelle menatap Via.
“Baiklah! Bawa rotimu juga, ayo! Ayah tidak mau menyia-nyiakan masa hidupnya yang berharga...” Michelle mendahului keluar ruangan.
Via hanya menghela nafas lalu pamit kepada Mr. Clanburgs dan guru itu. Ia mengambil roti dan segera pergi.
“Aku tidak tau, dia adalah salah satu dari yang terpilih...” kata Katty terkejut.
“Dia adalah yang terbaik dari Cattleya area manusia.” Timpal Mara.
“Hh... Yang benar saja...” Bella menatap punggung Via yang sedang keluar dari ruangan itu. Aku tidak akan kalah!

à
Tunggu part selanjutnya ya...

Selasa, 14 Maret 2017

Fantasy : Tales of Catteya : Powers Fantsasy Batle part 2

Ini lanjutannya... Bagi yang belum sempat baca bisa cek disini
http://ceritakusakura.blogspot.co.id/2017/03/fantasy-tales-of-catteya-powers.html

Oke mulai saja ya...
Via tengah membaca di kursi depan air mancur di taman area hutan. Ia memakai seragam putih lengan balon, dan rompi rajutan warna hijau. Di sekolah Cattleya semua area memiliki seragam sendiri-sendiri. Berkat, nametag ajaib yang para siswa pakai.
Tiba-tiba, Via melihat seekor tupai berada tak jauh dari air mancur. Tupai itu tampak gelisah, rupanya ada biji pohon eik yang terapung di air mancur. Via bangkit dan menaruh buku bacaannya di kursi. Via mengambil biji itu dan memberikannya pada si tupai.
“Ini, jangan sampai kau kelaparan...” Via memberikan kacang itu pada si tupai. Tupai itu mengambilnya dan segera pergi.
Via kembali ke tempat duduknya, tapi ia tidak melihat bukunya. “Dimana?”
Saat ia menoleh, ada seorang gadis berambut coklat tua digelung. Ia membawa beberapa buku. Salah satunya buku milik Via. Lalu, gadis itu berlari. Sekejap Via tidak melihatnya lagi.
“Apa dia..” Via terdiam. “Oh, ya ampun aku harus mengambil buku itu lagi...” Via berlari mengejar gadis itu.
Tak lama, ia sampai di sebuah puri tua diperbatasan area asrama. Ia melihat gadis itu masuk kesana. Seragam Via pun mulai berubah lagi menjadi seragamnya di area manusia. Sedangkan, seragam gadis itu berubah menjadi jas warna biru muda, dengan dalaman kemeja putih dan dasi, dipadu rok kotak-kotak hitam.
“Seragam area musim dingin?” gumam Via.
Via segera mengikutinya dengan mengendap-ngendap. Via merasa dirinya seperti penguntit. Tapi, harus bagaimana lagi. Di buku itu terdapat hal yang sangat berharga baginya.
Saat Via berputar melewati pintu belakang, ia melihat gadis itu tengah berbicara pada seorang pria parubaya. Via melihat gadis itu masih mengenggam buku milik Via. Via juga melihat ada sebuah jendela terbuka. Via segera masuk kesana.
“Eh, kuharap aku tak perlu terlibat dengan mereka...” gumam Via.
Sesaat, gadis itu menoleh menatap ke arah Via berada. Via segera sembunyi di balik meja yang ada didekatnya.
“Ada apa Miki sayang?” tanya sang pria parubaya yang sepertinya ayah dari gadis itu.
“Entahlah yah, untuk sesaat aku sepertinya melihat seseorang berada disana...” kata gadis itu.
Via menelah ludah, apa ia sudah ketahuan atau dia masih tetap aman.
“Biar ayah periksa, masuklah ke kamarmu sayang,” kata pria itu.
à
Via menatap sekitar sepertinya tidak ada siapa-siapa. Ia menghela nafas lega. Saat ia menatap ke mana si gadis itu pergi, ia tidak menemukan siapa pun. Via menghela nafas kesal.
“Aku harus mendapatkan buku itu...”
“Buku apa?” tanya seseorang di belakang telinga Via.
Via terkejut. Dan segera melompat menjauhi asal suara. Dia adalah Ayah dari gadis tadi. Pria itu tersenyum, Via dapat melihat taring pria itu.
“Manusia! Sedang apa kau kemari? Kenapa kau membuntuti putriku?” Bentak pria itu.
Via hanya bisa menutup matanya seakan berharap telinganya yang tertutup karena suara keras pria itu. Pria itu hanya berjarak 3 langkah dari tempatnya berdiri sekarang.
“Maaf, tuan...” Via menatap wajah pria itu. Pria itu menaikkan salah satu alisnya, menunggu lanjutan dari kalimat Via. “..Vampir?”
“Hm... kau tau berapa umurku?” tanya pria itu.
Via menatap wajah pria itu, ia sama sekali tidak melihat adanya kerutan wajah disana. Hanya ada kantung mata yang tipis.
“260 tahun?” tebak Via.
“Hah? Darimana kau tau? Bahkan putriku saja tidak mengetahui umurku, kenapa kau bisa...”
“Um... kantung matamu seperti pria berumur 26 tahun, jadi...”
“Huh! Ayo ikut aku, penguntit...” pria itu menarik tangan Via dan membawanya pergi dari tempat itu.
“Aku tidak bermaksud menguntitmu putrimu tuan, kata-katamu agak membuatku tersinggung...” bisik Via kesal.
“Kau mengatakan sesuatu? Manusia!” tanya sang Vampir.
“Tidak ada...”
à
Pria parubaya itu menyuruh Via berdiri di balkon sebuah ruangan di lantai tiga, disana ada kursi panjang dan juga lantai yang terbuat dari kayu didekat tepi, disana tidak ada pagar tapi jika kau jatuh maka kau akan jatuh ke sungai dibawahnya dan sungai itu berada di ketinggian, seakan rumah itu berada di atas bukit besar.
Via berdiri di samping kursi panjang. Gadis berambut coklat tadi datang kesana.
“Ayah? Siapa dia?” tanya si gadis.
“Manusia, dia mengikutimu tadi...” kata pria itu.
“Mengikutiku, kenapa?” gadis itu menatap Via.
“Karena buku milikku ada padamu...” jawab Via.
“Buku? Buku yang mana?”
“Buku berwarna hijau yang kau pegang tadi!”
“Hah? Siapa kau.. beraninya kau membentakku!”
“Via Lordwill, kelas 11-A area manusia, salam kenal...” kata Via kesal.
“Aku Michelle Whitemoon, kelas 12-B area musim dingin. Dan, dia ayahku!”
“Sekarang kau disini, dan kau tidak boleh pergi kemana-mana! Ini hukumanmu!” kata Mr. Whitemoon.
“Apa? Tapi atas alasan apa kau menahanku disini? Aku hanya ingin buku itu kembali!” kata Via.
“Ada apa ini, sayang?” seorang wanita berambut coklat datang sambil membawa syal yang tengah dirajut.
“Ibu, ada yang mengikutiku hingga ke rumah!” kata Michelle. Wanita itu menatap Via.
“Menurut ibu dia adalah gadis manusia yang manis...” Wanita itu tersenyum ramah pada Via.
“Permisi Mrs. Whitemoon, tapi aku disini hanya untuk mengambil buku milikku yang dia ambil tadi,”
“Michelle, apa kau mengambil bukunya?” tanya Mrs. Whitemoon.
Michelle menyerngit. “Aku menemukan buku itu tergeletak di bangku taman air mancur di area hutan, dan kukira itu buku buangan jadi aku mengambilnya!”
“Ya, dan apa kau tidak bisa melihat bahwa ada seseorang disana yang mungkin pemilik dari buku itu?” gertak Via kesal.
“Cukup! Manusia, kau berdiri di bawah terik matahari disana, itu hukuman karena membentak anakku. Dan, Michelle sayang kembalikan bukunya 1 jam lagi, oke?” kata Mr. Whitemoon.
“Baik, Ayah?” kata Michelle lalu pergi.
“Apa?”  tanya Via kesal.
“Tenang sayangku, aku akan menemanimu disini...” kata Mrs. Whitemoon sambil duduk di kursi panjang.
“Hhh...” Via menghela nafas.
à
1 jam kemudian...
Via masih menatap kedepan dengan melipat tangan dibawah terik matahari.
“Sayang, apa kau mau lemon?” Mrs. Whitemoon datang dari dapur dan menawarkan segelas minuman lemon segar.
“Tidak terimakasih, Mrs. Whitemoon. Aku harus memakan sesuatu dulu sebelum meminum jeruk atau apapun yang rasanya masam.” Tolak Via.
“Kenapa begitu sayang?” tanya Mrs. Whitemoon.
“Karena itu bisa membuat perutku sakit.” Jawab Via. Mrs. Whitemoon hanya tersenyum manis dan mengangguk.
Tiba-tiba, Michelle dan Ayahnya datang.
“Wah, ibu! Boleh aku meminumnya?” tanya Michelle sambil mengambil segelas lemon.
“Tentu sayang,”
Mr. Whitemoon melangkah menghampiri Via. “Hei, manusia! Kuharap kau tidak kehausan...”
“Tidak Mr. Whitemoon, aku tidak haus sama sekali.” Jawab Via.
“Itu aneh, bahkan aku tidak melihat bahwa kau berkeringat...” kata Mr. Whitemoon. Via hanya angkat bahu.
“Hei, apa kau mencari ini?” Michelle mengacungkan buku bersampul hijau dengan judul ‘Spring book’.
“Ya, tolong kembalikan...” Via melaju selangkah.
“Tapi, kau harus membayar, karena kau sudah berani-berani menguntit diriku!”  tuntut Michelle.
“Apa?” Via bingung.
“Dengan ini!” Michelle melempar bukunya ke luar balkon menuju jurang.
“TIDAAK!!!...”
Via berlari, melompat, dan terjun kedalam jurang. Saat Via terjatuh, ia masih bisa melihat bukunya juga tengah jatuh. Via berusaha meraih buku itu. Dan, tap! Ia berhasil meraihnya. Sungai sudah ada dibawahnya. Dan, entah kenapa. Sedetik selanjutnya Via merasa dirinya melayang.
Sebuah ranting pohon yang besar tengah menopang tubuh Via. Via dibawa kembali naik ke atas. Ke balkon.
“Terima kasih...” kata Via setelah ia berhasil berdiri di tepi balkon.
“Bagaimana kau...” Michelle terlihat heran.
Via membalikan badan. Matanya berkilat marah.
“Apa yang kau lakukan? Apa kau tidak tau buku ini sangat penting bagiku!” teriak Via marah.
“Ya, tapi bagaimana bisa kau..”
“Aku tidak peduli, Ms. Whitemoon. Aku tidak akan pernah kesini lagi, titik!” Via mulai berderap menuju pintu keluar. Tiba-tiba, ia mendengar suara denting kecil. Via menoleh pada asal suara. Ia melihat sebuah pot bunga kecil diatas meja kecil dekat pintu, disana ada tanaman bunga dandelion kuning.
“Kau tak apa?” tanya Via. Ia mendengar dentingan kecil dari bunga itu. Seakan ia tau apa yang bunga itu katakan. “Salju? Kau butuh salju? Baiklah, aku akan mengambilkannya!”
Via berdiri dan beberapa saat kemudian, ia sudah tidak berada ditempatnya berdiri. Lalu, sedetik kemudian dia kembali dengan membawa segumpal salju dari area musim dingin ditangannya.
Mr. Whitemoon menyadari sesuatu dari Via.  Ia meraih tangan Via. “Kau, PERI?!...”

à
Tunggu yang selanjutnya ya.. ^_^